PANDEMI DI ERA MATINYA KEPAKARAN

Oleh: Mastur Sonsaka

August Comte pernah memprediksi bahwa suatu saat akan ada masa dimana agama akan digantikan perannya oleh sains. Nabi sebagai informan otoritatif bagi semua persoalan dan kebutuhan manusia beragama akan diganti peran otoritatifnya oleh para ilmuan. Kitab suci akan tergantikan oleh desiminasi hasil riset ilmiah. Namun prediksi Comte tersebut rupanya meleset untuk tidak disebut keliru. Peradaban justeru terlihat mengarah pada matinya kepakaran (the death of expertises), sebuah kondisi dimana semua orang merasa tahu akan segala hal. Sehingga pakar agama bertingkah seperti lebih tahu soal kesehatan dari pada dokter, tokoh agama lebih politis dari pada politisi, dokter merasa lebih agamis dari pada agamawan, insinyur bertingkah seperti lebih tahu agama dari pada ahli agama bahkan yang awam bertingkah lebih tahu dari semua ahli. Disinilah akhir dari semua bidang dan keahlian, tidak ada kepercayaan terhadap keahlian dan bidang tertentu, karena semua merasa ahli dalam segala hal. Ulama tidak lagi didengar fatwa-fatwa keagamaannya, dokter tidak lagi dipercaya analisis kesehatannya, politisi tidak mendapatkan kepatuhan atas keputusan-keputusan politiknya, ekonom tidak lagi dijadikan rujukan atas anlisis ekonominya dan lain sebagainya.

Tidak jelas apa sebab matinya kepakaran ini. Perkembangan teknologi dan gawai (gedget) sering disebut-sebut sebagai penyebabnya, karena gawai memungkinkan bagi setiap orang mengakses pengetahuan tentang segala hal. Ada juga yang menyebut moralitas dan integritas ilmuan menjadi pemicu menurunnya kepercayaan terhadap kredibelitas hasil riset, karena acap kali ditemukan hasil riset hanya dinarasikan untuk kepentingan politik dan pemodal. Lagi pula watak dasar sains memang bersifat dinamis. Tidak ada kebenaran mutlak dalam logika sains. Semua hal dalam status sementara selama belum ada temuan ilmiah yang menganulirnya. Hanya hasil riset ilmiah lah yang bisa menggugurkan temuan ilmiah. Sementara logika awam yang dikontrol amigdala berhasyrat atas kebenaran mutlak yang diperoleh dari system keyakinan.

Celakanya ditengah episteme matinya kepakaran, muncul pula pandemi virus corana atau Covid-19. Maka muncullah postulat tokoh agama bahwa virus corona adalah tentara Alla, para politisi sibuk berceloteh dalam rangka mengamankan dan memperkuat posisi politiknya, paran ekonom bercerita tentang ancaman ekonomi Negara dan sementara itu paramedic dan ahli kesehatan bekerja keras menangani dan mengantisipasi berkembangnya Covid-19 ini agar tidak meluas dan menjelma menjadi bencana kemanusiaan 100 tahun-an dengan mengeluarkan pandangan dan analisis kepakarannya bahwa virus corona ini harus dilawan dengan berpola hidup sehat seperti membiasakan cuci tangan, olah raga, mengkonsumsi makanan bervitamin sampai dengan menerapkan prosedur kesehatan yang disebut social distancing dan atau physical distancing. Namun apa yang terjadi, ternyata karena episteme matinya kepakaran ini orang malah memborong sembako, masker, handsanitizer dan lain-lain yang kemudian disebut panic buying karena kecemasan ekonomi dan malah abai terhadap prosedur kesehatan yang direkomendasikan ahli kesehatan. Dalam pada itu muncul informasi hoaks tentang tata cara mengobati virus corona dan dapat ditebak informasi hoaks inipun viral dan langsung dipercaya oleh halayak matinya kepakaran ini. Ahli agama berfatwa agar sholat jamaah dan jumatan ditiadakan, kebaktian digereja ditiadakan dan lain sebagainya agar prosedur kesehatan dimaksud terlaksana dan efektif, malah ditolak dengan keras oleh mereka yng tidak ahli agama.

Percayakan Pada Ahlinya

Oleh karena virus adalah domain bidang keahlian kesehatan mestinya urusan ini diserahkan segala halnya kepada para ahli kesehatan. Sehingga poros penanganannya berada pada para ahli kesehatan. Tidak ada lagi narasi-narasi lain selain pandangan dan opini dari ahli kesehatan. Politisi dan birokrasi harus mengambil kebijakan dan keputusan politik berdasarkan saran para ahli kesehatan. Ekonom harus menyertakan kebijakan dan pandangan ekonominya berdasarkan saran ahli kesehatan. Ahli agama harus berfatwa berdasarkan pertimbangan para ahli kesehatan. Dan kita sebagai yang tidak ahli apa-apa mengikuti advice dan arahan para ahli kesehatan. Demikian harusnya kehidupan ini berjalan, masing-masing dari kita memiliki peran dan tanggung jawab sesuai kapasitas dan kompetensi kita atas keberlangsungan kehidupan sebagai bagian dari masyarakat dunia.

Jangan lupa biasakan cuci tangan, makan makanan bergizi dan perilaku hidup sehat lainnya.

Tulisan ini dimuat juga di : https://tajuklombok.com/berita/detail/pandemi-di-era-matinya-kepakaran

Tentang MASTUR

Data Diri Nama : Mastur Sonsaka TTL : Lombok Timur, 12 Desemder 1980 Alamat : Ds. Songak Kec. Sakra Graduasi Pendidikan 1. SD Negeri I Songak Lombok Timur 1993 2. MTs. Nahdlatul Wathon Rumbuk Lombok Timur 1993-1996 3. MA. Nahdlatul Wathon Pancor Lombok Timur 1996-1999 4. Univesitas Islam Negeri (UIN) Malang Fakultas Psikologi 5. Universitas Gadjah Madah (UGM) Yogyakarta
Pos ini dipublikasikan di AGAMA, BUDAYA, EKONOMI, ENTERTAIN, LIFE STYLE, OPINI, PSIKOLOGI. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar